Dosen Fakultas Pertanian UB Malang Gali Bahan Pembelajaran Terkait Subak Unud

DENPASAR, iBaliNews.Com – Sebanyak 10 orang dosen dan tenaga kependidikan dari Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang berkunjung ke Lab. Subak Dan Rekayasa Agrowisata Unud, Kamis (10/7) kemaren. Ketua Laboratorium Fisika Tanah Istika Nita, SP., MP. selaku pimpinan rombongan menjelaskan tujuan mempelajari sistem subak di Bali sebagai kegiatan memggali bahan pembelajaran mata kuliah irigasi.
“Mulai semester depan kami menjadikan subak sebagai studi kasus MK Irigasi yang dilaksanakan dengan metode pembelajaran case study,” tutur Nita demikian dosen muda itu memperkenalkan diri. Dijelaskan selain observasi lapangan dan bertatap muka dengan tokoh masyarakat di Subak Jatiluwih, Rombongan FP UB itu berkunjung ke Fakultas Pertanian Unud antara lain Prof. Dr. Ir. Didik Suprayogo, M.Sc., Ph.D; Prof. Dr. Ir. Sugeng Priono, S.U.; Dr. Kurniawan Sigit Wicaksono, SP., M.Sc; Dany Dwi Saputrra, SP., M.Si., Ph.D; Syamsul Arifin, SP., M.Si; Dr. Yulia Amirul Fata, ST., M.Si; Muhammad Taufik Hidayat, SP., dan Awang Satya Kusuma, S.Kom.
Rombongan diterima Ketua Unit Subak Unud Prof. Dr. Ir. I Ketut Suamba, MP dan Ketua Lab. Subak dan Rekayasa Agrowisata FP Unud Dr. I Made Sarjana, SP., M.Sc. di Gedung Agrokomplek Kampus Unud, Jln. Sudirman Denpasar. Dr. Made Sarjana memaparkan profil lab. Subak dan sistem subak di Bali. Dijelaskan, Lab. Subak merupakan laboratorium sosial yang memfasilitasi mahasiswa untuk belajar subak ke petani.
“Secara fisik tidak ada perlatan khusus, kami melakukan penelitian atau kajian dengan turun langsung ke petani. Infrastrukturnya pling hanya komputer dan software analisis kuantitatif dan kualitatif,” tegas akademisi yang juga anggota Subak Giri Merta Yoga, Desa Mengani itu. Ditambahkan, Lab. Subak tidak meneliti teknologi tertentu dan disebarkan ke masyarakat tetapi sebaliknya menggali data lapangan, menganalisis dan mempublikasikan serta diseminasi ke petani. Hasil pembelajarannya dikembalikan ke petani untuk dijadikan bahan acuan meningkatkan peran subak sebagai wahana pemberdayaan petani.
Sementara itu Prof. Ketut Suamba memaparkan subak sebagai warisan budaya dunia dan dampaknya terhadap upaya pelestarian lembaga tersebut. Dijelaskan, subak dapat ditelaah secara multi dimensional dan melibatkab multi aktor.
“Membahas subak bukan sekedar budidaya padi semata, ada aspek budaya, sosial, lingkungan, teknis distribusi air, dan ekonomi termasuk pemanfaatan subak sebagai daya tarik wisata. Memahami subak butuh proses dan waktu yang cukup panjang, namun pertemuan ini kami memperkenalkan subak secara garis besar. Banyak penelitian tentang subak dari berbagai sudut pandang penelitinya, temuannya memperkaya pemahaman kami tentang subak,” tuturnya.
Prof. Suamba mengaku bangga ketika semakin banyak orang belajar tentang subak karena upaya pemaknaan nilai-nilai kearifan lokal kian beragam. Subak, lanjutnya, menjadi lembaga yang mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan di lapangan bukan pada tataran wacana semata. Dicontohkan, petani menanfaatkan subak sebagai lembaga menyelesaikan konflik sangat nyata dilakukan. “Setiap subak memiliki bangunan pura, balai pertemuan dan bale timbang. Bale timbang ini maknanya sebelum warga subak mengambil keputusan harus mempertimbangkan berbagai hal. Ini secara simbolik mencegah terjadi konflik,” ujar Prof. Suamba.
Pertemuan berlansung sekitar tiga jam, berlangsung hangat dan kekeluargaan. Akademisi asal Kota Malang, Jawa Timur mengajukan sejumlah pertanyaan mendasar untuk memahami subak secara menyeluruh. LAN