BaliEkonomiOpiniPariwisataPendidikan

Resiliensi Pariwisata Bali: “Meneropong Kerangka World Economic Forum untuk Masa Depan yang Tangguh”

Oleh: Dr. I Made Darsana, SE.,MM.

Dosen: Institut Pariwisata dan Bisnis Internasional

Sektor pariwisata global senantiasa berada di antara dua sisi yang saling bertolak belakang yakni, peluang dan kerentanan. Di satu sisi, pariwisata merupakan mesin pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial yang signifikan. Namun, di sisi lain, sektor ini sangat rentan terhadap berbagai bentuk krisis, mulai dari fluktuasi ekonomi global, bencana alam, pandemi, hingga dinamika geopolitik. Kondisi ini menunjukkan bahwa kemampuan suatu destinasi untuk bertahan, beradaptasi, dan pulih setelah menghadapi guncangan eksternal merupakan faktor kunci bagi keberlanjutan industri tersebut. Kemampuan inilah yang dikenal dengan istilah resiliensi. Dalam konteks ini, World Economic Forum (WEF) telah menjadi salah satu lembaga global yang memberikan kontribusi penting terhadap pemahaman dan pengukuran resiliensi pariwisata melalui kerangka kerja yang komprehensif dan adaptif terhadap tantangan zaman.

Sejak tahun 2007, WEF telah mempublikasikan laporan-laporan penting mengenai daya saing dan perkembangan sektor perjalanan dan pariwisata, yang awalnya dikenal dengan Travel & Tourism Competitiveness Index (TTCI). Seiring perkembangan global dan kebutuhan untuk memperluas cakupan analisis, WEF kemudian memperkenalkan Travel & Tourism Development Index (TTDI) sebagai evolusi dari TTCI. Indeks ini mengukur kinerja 117 ekonomi dunia berdasarkan 17 pilar dan lebih dari 100 indikator yang mencerminkan kondisi dan kebijakan terkait pariwisata (World Economic Forum, 2024). Pengukuran dalam TTDI tidak hanya menilai aspek ekonomi dan infrastruktur, tetapi juga memasukkan dimensi keberlanjutan dan ketahanan (resilience) sebagai faktor utama pembangunan sektor pariwisata yang tangguh dan berkelanjutan.

Konsep resiliensi menurut WEF tidak terbatas pada kemampuan untuk pulih pasca-krisis, melainkan juga mencakup kapasitas adaptasi terhadap perubahan jangka panjang seperti perubahan iklim, digitalisasi, serta pergeseran perilaku wisatawan (WEF, 2024). Dalam laporan Travel & Tourism Development Index 2024, WEF menekankan pentingnya resiliensi sosial, ekonomi, dan lingkungan sebagai pondasi utama bagi pembangunan sektor pariwisata yang berdaya saing dan berkeadilan. Oleh karena itu, WEF menambahkan dua pilar baru, yaitu Socioeconomic Resilience and Conditions serta T&T Demand Pressure and Impact, yang memperkuat perhatian terhadap dimensi ketahanan dan keberlanjutan. Kerangka ini menegaskan bahwa resiliensi bukanlah hasil dari kebetulan, melainkan merupakan hasil dari strategi pembangunan yang terencana dan inklusif.

Baca Juga:  Komitmen Tangani Masalah Sampah, Bupati Satria Tinjau Proses Pemilahan Sampah Anorganik Menjadi RDF

Lebih jauh, WEF (2025) dalam laporan bertajuk Travel and Tourism at a Turning Point: Principles for Transformative Growth menegaskan bahwa sektor pariwisata global saat ini berada pada titik kritis yang menuntut transformasi menuju pertumbuhan yang tangguh dan berkelanjutan. Laporan tersebut mengusulkan sepuluh prinsip utama bagi pertumbuhan transformatif, antara lain penguatan inovasi yang bertanggung jawab, pengembangan strategi yang tahan krisis, pemberdayaan komunitas lokal, serta revitalisasi warisan budaya. Dalam kerangka ini, resiliensi menjadi konsep multidimensional yang mencakup lima aspek utama: keberlanjutan (sustainability), inovasi dan kesiapan digital (innovation and ICT readiness), sumber daya manusia dan pasar tenaga kerja (human resources and labour market), tata kelola dan kebijakan (governance and policy), serta diversifikasi ekonomi (economic diversification). Keseluruhan dimensi ini membentuk fondasi bagi pembangunan pariwisata yang tidak hanya adaptif, tetapi juga inklusif dan berdaya tahan terhadap perubahan global.

Kerangka kerja yang ditawarkan oleh WEF ini menjadi sangat relevan bagi Bali, yang perekonomiannya sangat bergantung pada pariwisata. Ketergantungan ekonomi yang tinggi membuat Bali menjadi destinasi yang rentan terhadap guncangan eksternal. Krisis yang disebabkan oleh pandemi COVID-19, misalnya, menunjukkan bagaimana penurunan drastis kedatangan wisatawan dapat mengguncang struktur ekonomi lokal secara mendalam. Meski demikian, Bali menunjukkan kemampuan adaptasi dan ketahanan yang luar biasa pasca-pandemi melalui berbagai kebijakan dan inisiatif yang sejalan dengan prinsip-prinsip resiliensi WEF. Pemulihan pariwisata Bali tidak hanya ditandai oleh peningkatan jumlah wisatawan, tetapi juga oleh perubahan paradigma menuju pembangunan pariwisata yang lebih hijau, cerdas, dan berkelanjutan.

Salah satu aspek penting dari resiliensi pariwisata Bali adalah penguatan keberlanjutan lingkungan dan budaya. Pemerintah Provinsi Bali telah menerapkan berbagai kebijakan yang mendukung pelestarian lingkungan dan kearifan lokal, seperti larangan penggunaan plastik sekali pakai, kampanye eco-conscious travel, serta program “Pariwisata Bersih” yang berfokus pada pengelolaan sampah dan perlindungan sumber daya alam (whatsnewindonesia.com, 2024). Selain itu, pengembangan pariwisata berbasis budaya dan desa adat menjadi daya tarik strategis dalam menjaga identitas Bali sebagai destinasi yang berkarakter. Upaya-upaya tersebut sejalan dengan pilar T&T Sustainability dalam TTDI, yang menilai sejauh mana destinasi mengintegrasikan dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam praktik pariwisatanya.

Baca Juga:  100 Hari Kepemimpinan Sutjidra-Supriatna: Gerak Cepat Wujudkan Buleleng Paten

Selain aspek keberlanjutan, resiliensi Bali juga tercermin dalam inovasi dan kesiapan digital yang berkembang pesat. Pasca-pandemi, terjadi perubahan signifikan dalam pola konsumsi wisatawan dan strategi pemasaran destinasi. Pemerintah dan pelaku industri pariwisata Bali mulai memanfaatkan teknologi digital untuk mendukung promosi, manajemen destinasi, dan pengalaman wisatawan yang lebih personal. Penerapan protokol Cleanliness, Health, Safety, and Environmental Sustainability (CHSE), serta penggunaan media digital untuk memperkuat citra destinasi, menunjukkan kemampuan adaptasi Bali terhadap perubahan global (Nurhidayati & Nurchayati, 2025). Pergeseran preferensi wisatawan menuju akomodasi berbasis privasi seperti vila pribadi juga mencerminkan dinamika baru yang dikelola dengan pendekatan inovatif.

Dimensi berikutnya dari resiliensi Bali adalah pemberdayaan sumber daya manusia dan diversifikasi ekonomi. Pemerintah Bali memberikan dukungan finansial dan kebijakan insentif bagi pelaku usaha pariwisata, terutama usaha kecil dan menengah, guna memperkuat daya tahan ekonomi pasca-pandemi (Pramono, 2025). Selain itu, strategi transformasi ekonomi Bali mencakup pengembangan “Ekonomi Biru”, “Ekonomi Hijau”, dan “Ekonomi Kreatif”, yang bertujuan mengurangi ketergantungan pada pariwisata massal. Program ini mencerminkan upaya sistematis untuk memperluas basis ekonomi lokal melalui inovasi, pelatihan tenaga kerja, dan peningkatan kapasitas komunitas, sebagaimana ditekankan oleh WEF dalam pilar Human Resources & Labour Market.

Aspek terakhir yang memperkuat resiliensi Bali adalah tata kelola dan kebijakan publik yang proaktif. Pemerintah daerah telah mengeluarkan berbagai kebijakan, termasuk Surat Edaran Gubernur Nomor 7 Tahun 2025 yang mengatur perilaku wisatawan asing untuk menjaga nilai-nilai budaya lokal. Selain itu, inisiatif seperti Green Growth 2050 Roadmap for Bali Sustainable Tourism Development menunjukkan adanya komitmen multi-pihak untuk mengembangkan pariwisata yang terencana, inklusif, dan berkelanjutan (Dinan dkk., 2025). Pendekatan tata kelola ini memperkuat integrasi antara kebijakan publik, praktik industri, dan partisipasi masyarakat sebagai fondasi sistem resiliensi pariwisata yang adaptif terhadap krisis di masa depan. Dengan demikian, penerapan kerangka resiliensi pariwisata menurut World Economic Forum memberikan arah strategis yang relevan bagi Bali dalam membangun sektor pariwisata yang tangguh, berkelanjutan, dan inklusif. Melalui penguatan dimensi keberlanjutan, inovasi digital, diversifikasi ekonomi, pengembangan sumber daya manusia, dan tata kelola yang partisipatif, Bali memiliki peluang besar untuk menjadi model destinasi yang mampu bertahan sekaligus berkembang dalam menghadapi berbagai tantangan global. Resiliensi yang dibangun bukan semata-mata tentang kemampuan pulih, tetapi tentang menciptakan keseimbangan baru antara pertumbuhan ekonomi, pelestarian budaya, dan perlindungan lingkungan, demi kemakmuran jangka panjang bagi seluruh masyarakat Bali.

Baca Juga:  Bupati Satria Bekali Calon Paskibraka Dengan Empat Pilar Kebangsaan

Daftar Pustaka

  • Dinan, R., Purnama, S. G., Pricilla, S. P., Hasibuan, R., Triastuti, U. Y., Juansa, A., & Pinaria, N. W. C. (2025). Wisata Tanpa Jejak: Menuju Zero Waste Tourism. Star Digital Publishing,
  • https://hukum.ub.ac.id/en/bali-recovery-bangkitkan-kembali-pariwisata-pasca-pandemi/
  • Nurhidayati, H., & Nurchayati, Z. (2025). Transformasi Pariwisata Menuju Keberlanjutan dan Daya Saing Global. Deepublish
  • Organisation for Economic Co-operation and Development. (2022). Tourism Trends and Policies 2022: Building Resilience in the Tourism Ecosystem. OECD Publishing
  • Pramono, R. (2025). Sosiologi Pariwisata Pascapandemi COVID-19. Penerbit NEM
  • World Economic Forum. (2024). Travel & Tourism Development Index 2024: Insight Report. Geneva: World Economic Forum
  • World Economic Forum. (2025). Travel and Tourism at a Turning Point: Principles for Transformative Growth. Geneva: World Economic Forum.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *