Green Economy dan Masa Depan Pariwisata Ubud

Oleh: Dr. I Made Darsana, SE., MM.
Dosen Institut Pariwisata dan Bisnis Internasional
Perubahan iklim, polusi, dan tekanan terhadap sumber daya alam telah menjadi isu global yang tidak bisa diabaikan, terutama di sektor pariwisata yang sangat bergantung pada keindahan alam dan keberlanjutan lingkungan. Bali, sebagai destinasi wisata dunia, menghadapi tantangan ini secara langsung. Ubud, pusat seni dan budaya Bali, mengalami pertumbuhan pariwisata yang pesat, membawa manfaat ekonomi sekaligus menimbulkan tekanan ekologis. Dari kemacetan lalu lintas, polusi udara, hingga degradasi lingkungan di sekitar sawah, hutan, dan sungai, banyak indikator menunjukkan bahwa pembangunan pariwisata harus diimbangi dengan prinsip keberlanjutan. Di sinilah konsep green economy atau ekonomi hijau hadir sebagai solusi strategis untuk mengintegrasikan pertumbuhan ekonomi, kelestarian lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Green economy, pada intinya, adalah sistem ekonomi yang menekankan keseimbangan antara pencapaian kesejahteraan masyarakat dan perlindungan lingkungan. Konsep ini bukan hanya berfokus pada pertumbuhan finansial semata, tetapi juga menekankan efisiensi sumber daya, pengurangan emisi karbon, dan distribusi manfaat ekonomi yang adil. Organisasi internasional seperti UNEP (United Nations Environment Programme) menekankan bahwa kegiatan ekonomi harus mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap generasi mendatang dan mengantisipasi kelangkaan ekologis. Jika kita kaitkan dengan pariwisata, green economy diterjemahkan melalui praktik pariwisata hijau, yang mencakup pengelolaan energi terbarukan, pengurangan limbah, transportasi ramah lingkungan, serta pemberdayaan masyarakat lokal sebagai mitra utama pembangunan.
Ubud memiliki potensi unik untuk mengimplementasikan ekonomi hijau. Selain keindahan alamnya, Ubud juga memiliki komunitas yang kuat dengan kearifan lokal yang mendukung keberlanjutan. Nilai Tri Hita Karana, yang menekankan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan, menjadi fondasi filosofis bagi praktik ekonomi hijau. Kesadaran masyarakat lokal terhadap prinsip ini memungkinkan mereka untuk menjadi pelaku aktif dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan. Hal ini menunjukan bahwa, transformasi green economy di Ubud tidak hanya mungkin secara teoritis, tetapi juga dapat diwujudkan melalui kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku industri pariwisata.
Tren wisatawan juga mendukung implementasi green economy di Ubud. Banyak wisatawan yang datang mencari pengalaman budaya, slow tourism, dan wellness tourism, yang secara alami menghargai praktik berkelanjutan. Permintaan ini membuka peluang bagi usaha lokal yang menerapkan prinsip hijau, mulai dari akomodasi yang menggunakan energi terbarukan, restoran berbasis bahan lokal dan organik, hingga kerajinan tangan yang memanfaatkan bahan ramah lingkungan. Dengan demikian, ekonomi hijau di pariwisata tidak hanya menjaga lingkungan, tetapi juga memperkuat daya saing ekonomi lokal, menciptakan siklus keberlanjutan yang menguntungkan semua pihak. Meski potensinya besar, penerapan green economy di Ubud menghadapi tantangan signifikan. Pertama, tekanan infrastruktur akibat pertumbuhan akomodasi dan fasilitas wisata yang cepat terkadang melebihi kapasitas lingkungan. Banyak hotel dan vila baru yang belum memiliki sistem pengelolaan limbah dan air bersih terpadu, sehingga meningkatkan risiko polusi dan degradasi lingkungan. Kemacetan lalu lintas juga menambah emisi karbon, menurunkan kualitas udara, dan mengurangi kualitas pengalaman wisata. Tantangan ini menunjukkan bahwa transisi menuju pariwisata hijau membutuhkan perencanaan matang, regulasi yang tegas, dan kesadaran kolektif.
Ketergantungan pada energi fosil menjadi tantangan kedua. Sebagian besar fasilitas wisata masih menggunakan listrik dari sumber konvensional berbasis batu bara, meski potensi energi terbarukan di Bali sangat besar. Misalnya, energi surya, panas bumi, biogas, dan energi gelombang laut memiliki kapasitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kawasan pariwisata. Namun, peralihan ke energi rendah karbon memerlukan investasi signifikan, teknologi yang tepat, dan dukungan kebijakan yang jelas. Tanpa langkah konkret, upaya green economy hanya akan menjadi slogan tanpa dampak nyata. Selain itu, pengelolaan sampah dan air bersih juga menjadi masalah utama. Walaupun beberapa komunitas lokal telah memulai inisiatif seperti bank sampah, kompos organik, dan stasiun refill air, pengelolaan yang sistemik di seluruh kawasan wisata masih terbatas. Peningkatan jumlah wisatawan dan fasilitas baru secara langsung menambah tekanan terhadap lingkungan. Oleh karena itu, partisipasi aktif masyarakat menjadi kunci keberhasilan, di mana mereka bukan hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga penggerak utama transformasi pariwisata hijau.
Ketimpangan sosial-ekonomi menjadi tantangan tambahan. Harga tanah yang terus meningkat dan masuknya investor eksternal kadang meminggirkan masyarakat lokal dari rantai nilai industri pariwisata. Dalam green economy, prinsip keadilan sosial menjadi penting, agar manfaat ekonomi dirasakan merata oleh masyarakat. Strategi pembangunan harus memastikan bahwa warga lokal, pengusaha kecil, petani, dan pekerja sektor pariwisata dapat turut menikmati hasil dari implementasi ekonomi hijau. Untuk menghadapi tantangan ini, pemerintah memiliki peran strategis. Pemberian insentif fiskal bagi pelaku usaha yang menerapkan praktik hijau, pembangunan infrastruktur ramah lingkungan, dan regulasi ketat terkait pengelolaan limbah dan energi menjadi langkah penting. Sertifikasi dan standardisasi, seperti ekolabel atau CHSE Plus, dapat memastikan kepatuhan pelaku usaha terhadap prinsip keberlanjutan dan memberi kepercayaan bagi wisatawan. Selain itu, pendidikan dan literasi masyarakat juga menjadi pilar penting, melalui workshop, pelatihan, dan kampanye kesadaran lingkungan yang meningkatkan partisipasi komunitas.
Selain regulasi, green economy juga menghadirkan peluang ekonomi baru yang signifikan. Destinasi berkelanjutan cenderung menarik wisatawan berkualitas, mendorong pengeluaran yang lebih tinggi, dan membuka peluang usaha lokal. Pariwisata hijau meningkatkan ketahanan ekonomi komunitas, memperkuat kesejahteraan sosial, dan melindungi sumber daya alam. Dengan strategi tepat, Ubud dapat menjadi model destinasi hijau global, yang tidak hanya populer di mata internasional, tetapi juga membanggakan secara budaya dan ekologis. Keberhasilan green economy membutuhkan kolaborasi lintas sektor. Pemerintah, industri, masyarakat, dan wisatawan harus memiliki visi yang sama dan bergerak bersama. Tanpa sinergi, ekonomi hijau hanya akan menjadi slogan tanpa implementasi nyata. Namun, jika semua pihak bersinergi, Ubud dapat menjadi contoh nyata bagaimana pariwisata dapat berkembang berkelanjutan, tanpa merusak alam atau mengorbankan kesejahteraan masyarakat.
Rujukan :
- Heriani, H. (2025). Green tourism: New economic opportunities in the sustainable era in Ubud, Bali. EJESet.
- CERAH. (2024). Potential and examples of green economy in Indonesia. CERAH.
- Imleesh, M. M. (2025). The role of green economy in regional tourism development. Jurnal UNEP. (2024). Green economy: Concept and definitions. United Nations Environment Programme.Pascasarjana Universitas Mataram.
- UNEP. (2024). Green economy: Concept and definitions. United Nations Environment Programme
- World Travel & Tourism Council (WTTC). (2023). Sustainable tourism: A global perspective. WTTC





